Konsep Sehat
Pada
pengkajian seringkali perawat hanya memusatkan perhatian pada aspek fisiknya
atau biologisnya saja atau juga psikisnya, sehingga asuhan keperawatan secara
konprehensif tidak tercapai secara baik. Maka dari itu perlunya perawat untuk
membekali baik ilmu maupun pengalaman-pengalaman yang akan didapatnya. Sehingga
respon klien dapat terkaji lebih dalam dengan tujuan mengenal dan menentukan
masalahnya atau kebutuhannya sebagai klien yang harus diutamakan.
Adapun
pengertian konsep sehat dan sakit menurut WHO, yaitu suatu konsep yang akan
menjadi pegangan akan suatu pengertian dari kata sehat dan sakit. Karena WHO
adalah suatu organisasi yang mengurusi dan menangani suatu gejala seperti itu.
Yaitu kesehatan menurut hukumnya.
Sejak
dahulu sekitar abad 1 bahwa konsep sehat sakit menurut WHO telah dipergunakan
walaupun pengertian masih sangat terbatas dan masih belum menjangkau dari
keseluruhan fakta dan kasus yang ada. Pada saat ini sehat banyak diartikan dalam
kadar yang normal atau lazim yang terjadi pada individu dalam arti bahwa
individu tersebut tidak merasakan keluhan atau merasa ada suatu kerusakan atau
kesakitan pada tubuhnya.
Namun,
sebaliknya sakit diartikan suatu keadaan yang tidak normal atau lazim pada diri
seseorang yang mengeluh suatu rasa tidak nyaman yang terdapat dalam dirinya,
misalnya adanya keluhan pusing yang tidak tertahankan sakitnya, panas, demam,
batuk-batuk, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, sehingga pada saat itu dapat
disimpulkan bahwa sehat itu bukan dari suatu penyakit.
Konsep
Sehat sakit menurut WHO adalah
sebagai berikut:
Pengertian Sehat menurut WHO yaitu, a state of
complete physical mental and social well being and not merely the absence of
illness or indemnity. Atau sesuatu keadaan yang
sejahtera menyeluruh baik Jiwa, Raga (fisik dan mental) dan social lainnya
serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan saja.
Dan
adapun pengertian konsep sakit menurut WHO yakni adalah suatu kondisi dimana
kesehatan tubuh lemah. Lengkapnya Sakit adalah keadaan yang disebabkan oleh
bermacam-macam keadaan, bisa suatu kelainan, kejadi yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap susunan jaringan tubuh manusia, dari fungsi jaringan itu
sendiri maupun fungsi keseluruhan dari anggota tubuhnya.
Sejarah
Perkembangan Kesehatan Mental
Zaman
Prasejarah
Manusia purba sering mengalami gangguan mental atau
fisik, seperti infeksi, artritis, dll.
Zaman peradaban awal
- Phytagoras : Orang yang pertama memberi penjelasan alamiah terhadap penyakit mental.
- Hypocrates : Ia berpendapat penyakit / gangguan otak adalah penyebab penyakit mental.
- Plato : Gangguan mental sebagian gangguan moral, gangguan fisik dan sebagiaan lagi dari dewa dewa.
Zaman Renaissesus
Pada zaman ini di beberapa negara
Eropa, para tokoh keagamaan, ilmu kedokteran dan filsafat mulai menyangkal
anggapan bahwa pasien sakit mental tenggelam dalam dunia tahayul.
Era Pra Ilmiah
1. Kepercayaan Animisme
Sejak
zaman dulu gangguan mental telah muncul dalam konsep primitif, yaitu
kepercayaan terhadap faham animisme bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh
roh-roh atau dewa-dewa. Orang Yunani kuno percaya bahwa orang mengalami
gangguan mental, karena dewa marah kepadanya dan membawa pergi jiwanya. Untuk
menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji)
dengan mantra dan kurban.
2.
Kepercayaan Naturalisme
Suatu
aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental dan fisik itu akibat dari alam.
Hipocrates (460-367) menolak pengaruh roh, dewa, setan atau hantu sebagai
penyebab sakit. Dia mengatakan, Jika anda memotong batok kepala, maka anda akan
menemukan otak yang basah, dan mencium bau amis. Tapi anda tidak akan melihat
roh, dewa, atau hantu yang melukai badan anda.
Seorang
dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat polotik dan
sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia terpilih menjadi
kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, pasiennya dirantai,
diikat ketembok dan tempat tidur. Para pasien yang telah di rantai selama 20
tahun atau lebih, dan mereka dianggap sangat berbahaya dibawa jalan-jalan di
sekitar rumah sakit. Akhirnya, diantara mereka banyak yang berhasil, mereka
tidak lagi menunjukkan kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya.
Era Modern
Perubahan luar biasa dalam sikap dan
cara pengobatan gangguan mental terjadi pada saat berkembangnya psikologi
abnormal dan psikiatri di Amerika pada tahun 1783. Ketika itu Benyamin Rush
(1745-1813) menjadi anggota staf medis di rumah sakit Pensylvania. Di rumah
sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai lunatics (orang gila atau
sakit ingatan). Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyebab dan
cara menyembuhkan penyakit tersebut. Akibatnya pasien-pasien dikurung dalam
ruang tertutup, dan mereka sekali-kali diguyur dengan air.
Rush melakukan suatu usaha yang
sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita gangguan mental
tersebut melalui penulisan artikel-artikel. Secara berkesinambungan, Rush
mengadakan pengobatan kepada pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk
mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.
Pada tahun 1909, gerakan Mental
Hygiene secara formal mulai muncul. Perkembangan gerakan mental hygiene
ini tidak lepas dari jasa Clifford Whitting Beers (1876-1943) bahkan karena
jasanya itu ia dinobatkan sebagai The Founder of the Mental Hygiene
Movement. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang
pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi.
Secara hukum, gerakan mental
hygiene ini mendapat pengakuan pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika
presiden Amerika Serikat menandatangani The National Mental Health Act.,
yang berisi program jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan
mental seluruh warga masyarakat.
Pada tahun 1950, organisasi mental
hygiene terus bertambah, yaitu dengan berdirinya National Association
for Mental Health. Gerakan mental hygiene ini terus berkembang sehingga
pada tahun 1975 di Amerika terdapat lebih dari seribu perkumpulan kesehatan
mental. Di belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui The World
Federation forMental Health dan The World Health Organization.
Pendekatan
Kesehatan Mental
Orientasi
Klasik
Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam
kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan,
baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai
keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada
keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. Dalam
ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika
kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya
adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak merasa
ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak mampu mengurus
dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang
memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu
dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang
secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri
terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.
Orientasi
Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri,
pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat
individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama
norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya mental
seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga
pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam
masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi
dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau
sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan
sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering
melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada
satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan
di waktu lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada
saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental
pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara
keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang
itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa
tidak ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental
dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu saja memberikan
cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau sakit
mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak sehat mental
berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda. Artinya kita hanya dapat
menentukan derajat sehat atau tidaknya seseorang. Dengan kata lain kita hanya
bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada
umumnya manusia adalah makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika
kita memandang pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental.
Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan
mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan
proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
Orientasi
Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan
jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya
menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri. Dalam
psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali utama dalam setiap
tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi
yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah
terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering
terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa
keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang
tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene
mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan
gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan
jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan
masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus.
Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan
masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan
kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan
dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu,
dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.
Sumber:
http://www.caraalami.net/konsep-sehat-sakit-menurut-who/
http://unpredictablepeople.wordpress.com/2011/03/24/pendekatan-kesehatan-mental/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar