Teori Kepribadian Sehat
Psikologi sebagai
sebuah ilmu akan selalu berkembang, seiring dengan berkembangnya mazhab-mashab
dan teori-teori baru yang bermunculan. Teori-teori yang muncul biasanya
merupakan kritik dari teori-teori sebelumnya. Memang, patut diakui bahwa titik
pandang (teori) dalam psikologi tidak ada yang sempurna, sehingga terbuka
kesempatan bagi ilmuwan untuk memberikan kritik dan masukan ataupun
penyempurnaan dari teori yang sudah ada.
Kali ini, kita akan
membahas beberapa teori-teori psikologi. Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanistik (Holistik), Psikologi Gestalt,
Psikologi Positif, Psikologi Transpersonal dan Psikologi lintas Budaya (Cross
Culture Psychology).
1.
Psikoanalisis
Salah
satunya tokoh psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939). Nama
asli Freud adalah Sigismund Scholomo. Namun sejak menjadi mahasiswa
Freud tidak mau menggunakan nama itu karena kata Sigismund adalah bentukan kata
Sigmund. Freud lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia. Saat itu Moravia
merupakan bagian dari kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang Cekoslowakia). Pada
usia empat tahun Freud dibawa hijrah ke Wina, Austria (Berry, 2001:3).
Kedatangan Freud berbarengan dengan ramainya teori The Origin of Species
karya Charles Darwin (Hall, 2000:1).
Psikoanalisis
bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu kedokteran
dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang sangat
menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin Charcot,
neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang menyebabkan
histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak
itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang
menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud
melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada
yang terbelah dari kepribadian Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu yang
membawa Freud pada kesimpulan struktur psikis manusia: id, ego, superego dan
ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud
menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada manusia,
antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan yang
tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi
keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka
keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego
lemah.
Dalam
pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun
yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya.
Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa
kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak
sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur
mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:
a. Id,
adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b. Superego,
adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari
lingkungannya.
c. Ego,
adalah pengawas realitas.
Sebagai
contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi
mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda:
“Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek
dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego
menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada
masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap
ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan
mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi
akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan
ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada
orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking.
Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih
tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang
dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari
pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat
dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses
pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan
proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah
SQ (spiritual quotient).
2.
Behaviourisme
Aliran
ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada
akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang
mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan
sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat
dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak
digolongkan ke dalam psikologi.
Aliran
ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat
dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap
yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive
behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov
melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang
lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya.
Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air
liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging
disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu
dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak
disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response
dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan
yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan dengan seekor
tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka dipukullah
sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu
percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan
menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia
menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu
dan topeng Sinterklas.
Ini
yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang
disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).
3.
Psikologi Humanistis
Aliran
ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua
aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang
rendah. Aliran ini biasa disebut mazhab ketiga setelah Psikoanalisa dan
Behaviorisme.
Salah
satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan
mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya
meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah
satu bagian dari humanistic adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang
mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos
= makna). Pandangan ini berprinsip:
a. Hidup memiliki
makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b. Tujuan hidup kita
yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c. Kita memiliki
kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan
dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl
mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi
Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan
penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda,
yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar
biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan
seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi
ini sangat erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan
situasi-situasi berikut ini:
a. Ketika seseorang
menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran)
menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus.
Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang
berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah
tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa
mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa
tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul
ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika
seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran
kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari
Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi
namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan
istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk
keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan
memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan
kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang
merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata
tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu
makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun.
Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita
dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d. Ketika kita
dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang
bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil
menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan
keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa
dalam hidupnya.
e. Ketika kita
mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia
fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang).
Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan
kita.
Sumber:
Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ –
Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Hidup, Mizan, Jakarta, 2000.
Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut
Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Purwanto, Setyo. 2004. Tafakur Sebagai Sarana
Transendensi. (materi kuliah PI) tidak diterbitkan
Misiak, Henryk and Virginia Staudt Sexton, Ph.D.
1988 .Psikologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanistik : Suatu Survai
Historis. Bandung : PT Eresco
Purwanto, Setyo.2004. Hank Out PI : Metode-metode
Perumusan Psikologi islami.(Materi Kuliah) tidak diterbitkan
http://jebhy.blogspot.com/2008/11/psikologi-lintas-budaya.html